• 23 Dec, 2024

Anak Medan

Anak Medan

Dengan total penonton sembilan juta seratus ribu sekian, film Agak Laen menduduki peringkat kedua sebagai film paling laris dalam sejarah. Tidak ada yang menyangka bahwa film Agak Laen berada di posisi tersebut, sebab awalnya film itu dibuat ketika percakapan tanpa perencanaan dalam Podcast Agak Laen bersama Ernest Prakasa.

Ernest Prakasa merupakan pendiri rumah produksi Imajinari. Rumah produksi itu telah merilis beberapa film, salah satunya, Ngeri-Ngeri Sedap. Film tersebut ikut mendongkrak nama Indra Jegel, Boris Bokir, dan Bene Dion. Ketiga nama ini, bersama Oki Rengga, memiliki program Podcast Agak Laen di kanal Youtube. Keempat konten kreator awalnya berprofesi sebagai komika alumni SUCI Kompas TV.

Dalam satu tayangan Agak Laen, Ernest Prakasa didaulat sebagai narasumber. Tiba-tiba, dengan ringannya, Indra Jegel menodong Ernest untuk memproduksi film bagi mereka berempat. Entah datang dari mana rasa percaya dirinya, Jegel menjamin akan ada satu juta orang yang menonton film mereka.

Ternyata, Jegel salah. Film Agak Laen tidak menyentuh angka satu juta, melainkan sembilan juta. Mengejutkan, bahkan bagi Ernest -- sebagai produser -- dan personil Agak Laen.

Saya menonton film itu ketika berada di Yogyakarta. Seingat saya, saat itu, penonton masih antusias. Selama film berlangsung, hampir-hampir tidak scene yang tidak membuat suasana dalam teater meledak tawa. Keseluruhan film itu adalah tentang perjuangan Anak Medan untuk menyambung hidup. Sepanjang film, penonton hanya mendengar, yang sering kita sebut, logat Medan. Namun, semua penonton yang berada di dalam bioskop di Yogyakarta tertawa hebat. Seakan-akan, ada penerimaan bahwa logat Medan, seperti juga logat Betawi dan medok Jawa, sebagai “logat nasional.”

Peristiwa kebudayaan ini saya amati melalui dua hal, aspek sejarah dan budaya populer wilayah Sumatra Utara. Dalam sejarah, warga Sumatra Utara, dengan segala keragaman etnik dan latar belakang budayanya, merupakan komunitas yang cepat beradaptasi dengan pembudayaan bahasa Indonesia. Bahkan penerbitan, baik koran dan buku, tumbuh cepat di wilayah itu, terutama di Medan.

Penerimaan terhadap bahasa Indonesia membuat warga yang datang dari Provinsi Sumatra Utara ke Jakarta dalam berbagai agenda, tidaklah mengalami kesulitan. Adaptasi terhadap bahasa Indonesia itupulah yang membuat diaspora "Anak Medan" itu terasa melegakan. Salah satunya pada trend baru budaya populer, stand up komedi.

Saya berusaha melacak siapa pionir awal yang membawa logat Medan ke atas panggung nasional stand up comedy. Lalu, nama itu jatuh kepada Babe Cabita. 

Babe Cabita merupakan juara pertama kompetisi SUCI 3 Kompas TV. Secara artikulatif, dia membawa segalanya tentang Medan ke panggung kompetisi yang ditonton oleh segenap warga Indonesia. Lalu, setelahnya, berturut-turut kita mengenal komika asal Medan, seperti Bene Dion, Boris Bokri, Indra Jegel, dan Oki Rengga. Keempat nama itulah yang membuat penonton bioskop semua tertawa hebat. Baik bioskop di Binjai, Medan, Padang, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Mataram, Makassar, dan Jayapura.

Pertanyaan retoriknya, mengapa logat Aceh tidak seberuntung kisah Anak Medan itu? Atau jangan-jangan, hambatan psikologis dan kebudayaan telah membuat Aceh tidak pernah bisa melewati batas di Seumadam. Lalu, akhirnya, orang Aceh tetap menjadi golongan yang ketawa bahagia saja di bioskop ketika menonton film dari  Anak Medan yang sukses di tanah rantau. Bahkan, untuk tertawa di dalam bioskop itu pun, Aceh masih memerlukan Medan.

BA

 

Muhammad Alkaf

Dosen di Aceh dan Penggemar Bola