• 23 Dec, 2024

Gagap Eksistensi, Fomo dan Orientasi Diri

Gagap Eksistensi, Fomo dan Orientasi Diri

Sebagai generasi muda, saya kerap menjumpai Anak-anak generasi saat ini mengalami kegagapan dalam menjalani hidup di dunia yang serba cepat dan terkoneksi, di mana hampir setiap aspek kehidupan mereka terkait erat dengan teknologi dan media sosial.  Kita bisa melihat dari berbagai problem mental yang menghampiri, eksistensi yang disalah pahami, bahkan kehidupan yang “seakan-akan” justru menjadi prioritas, dan dijalani dengan santai.

Di tengah kemajuan ini, muncul fenomena FOMO (Fear of Missing Out), yang sangat relevan dalam konteks sosial sekarang. FOMO membuat banyak anak merasa cemas atau takut tertinggal dari tren, aktivitas, atau bahkan momen penting yang sedang dibicarakan teman-teman mereka secara online, menjadi warga dunia maya seharusnya tak menghilangkan prinsip sosialnya. 

Apa yang dulu mungkin hanya sebatas gosip di sekolah atau cerita di tongkrongan, kini terpampang jelas di feed Instagram, TikTok, atau platform media sosial lainnya, lengkap dengan komentar dan like yang bisa menambah beban mental.

Di era ini, kehidupan sosial tak lagi hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga di layar smartphone mereka. Satu unggahan tentang liburan mewah, acara kumpul-kumpul seru, atau sekadar foto makan di kafe hits bisa membuat anak-anak merasa seolah mereka kehilangan sesuatu yang penting jika mereka tidak terlibat di dalamnya. Dengan begitu, anda jangan berharap bahwa kondisi saat ini mengharuskan Batasan privat dan publiknya. Wong apa-apa kudu diunggah dan dapat like banyak-banyak Kog.

Perasaan ini makin kuat karena media sosial sering kali menampilkan sisi terbaik dari kehidupan seseorang, meninggalkan kesan bahwa orang lain selalu lebih bahagia, lebih aktif, atau lebih sukses. Akibatnya, anak-anak merasa perlu untuk selalu online dan terus memantau apa yang terjadi, bahkan meski itu hanya membuat mereka semakin merasa kurang. Gagap eksistensi itu, nyatanya bukan berimbas pada anak-anak saja, yang dewasa, mbah-mbah juga demikian, ibarat kata jaman edan, melu edan. Dari  sini, kita tahu, bahwa prinsip hidup itu penting untuk ditularkan sejak dini toh…?!

Dalam realitas sosial saat ini, media sosial telah menjadi tolok ukur "keren" atau "terkini." Anak-anak sering kali merasa motivasi mereka dipengaruhi oleh bagaimana orang lain menampilkan hidup mereka di dunia maya. Ketika melihat teman mereka memakai baju dari brand tertentu atau berlibur ke tempat yang populer, dorongan untuk ikut merasa bagian dari kelompok tersebut menjadi sangat kuat.   

Mereka tak ingin tertinggal, karena itu dianggap sama dengan kehilangan validasi sosial. Akhirnya, banyak anak yang terjebak dalam lingkaran mengejar tren dan popularitas yang terus bergerak cepat, bahkan sampai mengorbankan kesejahteraan mental mereka sendiri.

Realita lain yang perlu diakui adalah bahwa media sosial menciptakan ilusi tentang kebahagiaan dan pencapaian. Anak-anak sering kali tidak menyadari bahwa apa yang mereka lihat di media sosial hanyalah potongan kecil dari hidup orang lain. Mereka hanya melihat kesenangan, tanpa tahu perjuangan atau kesulitan yang mungkin terjadi di balik layar. 

Karena itu, perasaan tidak cukup baik atau merasa tertinggal menjadi hal yang lumrah, meskipun sebenarnya tidak semua orang selalu menjalani hidup yang sempurna seperti yang terlihat di internet. Hal ini juga memunculkan tantangan bagi anak-anak untuk belajar membedakan antara realita dan ilusi digital, serta membangun rasa percaya diri yang tidak bergantung pada validasi online.

Namun, di tengah tantangan ini, penting bagi anak-anak untuk mulai mengembangkan pola pikir yang lebih sehat dalam menggunakan media sosial. Alih-alih fokus pada apa yang orang lain lakukan, mereka bisa diarahkan untuk mengejar apa yang benar-benar mereka minati dan membuat mereka bahagia. Media sosial seharusnya menjadi alat untuk berbagi dan berinteraksi, bukan sebagai sumber tekanan atau kecemasan. 

Motivasi untuk menjadi diri sendiri dan mengeksplorasi dunia nyata di luar layar bisa menjadi kunci untuk mengatasi rasa FOMO. Dengan begitu, mereka tidak lagi terperangkap dalam siklus "takut tertinggal," melainkan lebih fokus pada apa yang penting bagi diri mereka sendiri, baik itu pengembangan hobi, relasi nyata, atau sekadar menikmati momen tanpa harus selalu terdokumentasi.

Penting juga bagi lingkungan sekitar—baik keluarga, sekolah, maupun teman sebaya—untuk lebih peka terhadap gejala FOMO yang dialami anak-anak. Pendekatan yang bijak, seperti mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan antara dunia nyata dan dunia maya, serta membangun rasa percaya diri tanpa harus tergantung pada validasi sosial, bisa membantu mereka mengatasi dampak negatif dari fenomena ini. 

Dengan demikian, anak-anak bisa belajar bahwa kebahagiaan dan kesuksesan tidak selalu diukur dari berapa banyak like atau followers yang mereka miliki, tetapi dari bagaimana mereka merasa nyaman dengan diri sendiri di dunia nyata.

Fenomena FOMO tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga mulai merambah ke desa-desa, meskipun dengan dinamika yang sedikit berbeda. Di kota, kehidupan anak-anak begitu terpacu dengan perkembangan teknologi yang serba cepat. Akses internet berkecepatan tinggi, gadget canggih, dan tren media sosial yang terus berubah membuat anak-anak kota lebih mudah terpapar pada tekanan sosial online.

Mereka merasa harus terus mengikuti arus untuk tidak tertinggal, baik itu dalam hal mode, gaya hidup, atau aktivitas sosial yang selalu ditampilkan secara mencolok di platform seperti Instagram dan TikTok.

Di kota, dengan kehidupan yang sibuk dan kompetitif, media sosial menjadi semacam panggung untuk menunjukkan keberhasilan atau pengalaman baru. Akibatnya, FOMO berkembang sebagai perasaan umum yang sering kali muncul ketika mereka tidak bisa berpartisipasi dalam kegiatan yang dianggap "keren" atau trendi. 

Namun, fenomena ini juga mulai menjangkau anak-anak di desa, meskipun dengan skala dan konteks yang sedikit berbeda. Akses internet dan media sosial di desa-desa semakin meningkat seiring dengan berkembangnya infrastruktur digital. Anak-anak di desa kini juga terhubung dengan dunia luar, mengakses konten yang sama seperti anak-anak kota. 

Mereka bisa melihat kehidupan di kota yang lebih glamor, lengkap dengan gaya hidup yang lebih modern dan cepat. Hal ini menimbulkan rasa ingin mengikuti, meskipun sumber daya dan kesempatan di desa mungkin lebih terbatas. Akibatnya, FOMO di desa bisa muncul dalam bentuk keinginan untuk “menyamai” kehidupan kota—baik dalam hal penampilan, hiburan, atau pengalaman.

Namun, perbedaan kondisi sosial dan budaya antara kota dan desa membuat FOMO di desa sering kali lebih berkaitan dengan keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari komunitas lokal. Jika di kota, FOMO lebih berorientasi pada tren global, di desa perasaan takut tertinggal bisa lebih terkait dengan acara-acara lokal, seperti kegiatan sosial, acara adat, atau pertemuan komunitas. 

Anak-anak di desa mungkin merasa tertekan jika mereka tidak bisa ikut serta dalam acara-acara tersebut, atau jika mereka tidak memiliki akses ke teknologi yang sama dengan anak-anak kota. Perasaan keterasingan dari dunia modern yang lebih luas juga bisa membuat mereka merasa terisolasi.

Di satu sisi, perkembangan teknologi membawa dampak positif dalam menghubungkan desa dengan dunia luar, namun di sisi lain, ini juga memperlebar kesenjangan dalam hal kesempatan dan ekspektasi sosial. Anak-anak di desa sering kali menghadapi dilema antara tetap mempertahankan identitas lokal mereka dan mengikuti arus global yang dilihat di media sosial. Fenomena ini memunculkan tantangan baru, di mana mereka harus menyeimbangkan kebutuhan untuk tetap relevan secara sosial dengan kenyataan hidup mereka di lingkungan yang lebih tradisional.

Baik di kota maupun di desa, FOMO menjadi fenomena yang sama-sama memengaruhi anak-anak, hanya saja bentuknya menyesuaikan dengan konteks lokal. Oleh karena itu, penting untuk memberikan edukasi yang relevan tentang cara menggunakan media sosial dengan sehat, baik di lingkungan urban maupun pedesaan, agar generasi muda dapat memahami bahwa kebahagiaan dan pencapaian tidak selalu diukur dari apa yang terlihat di layar ponsel, tetapi dari bagaimana mereka menikmati hidup dalam realitas mereka masing-masing.[]

 

 

Ahmad Dahri

Alumni SKK ASM MAARIF Institute, Sedang gandrung sama Kebudayaan. Pelayan Teras di Nerassuara.com