Kecuali Uzbekistan, tidak ada lawan bagi Timnas Indonesia U-23 yang tidak bisa dikalahkan sejak Piala Asia U-23 di Qatar sampai babak play-off melawan Guinea. Oleh karena itu, kalah dalam pertandingan yang dapat dimenangkan, seperti melawan Irak dan Guinea terasa menyakitkan, dibandingkan kalah dari Uzbekistan.
Perasaan itulah yang kita alami setelah melihat papan skor akhir babak play-off menuju Olimpiade Paris 2024. Ternyata, Guinea tidaklah sesangar kabar dan foto yang beredar. Sebelumnya, kita dibuat bergidik melihat postur pemain Guiner bak pasukan pemburu. Ternyata, bayangan itu tidak terbukti di lapangan.
Guinea bukanlah tim yang istimewa, baik secara individu maupun tim. Mereka diunggulkan oleh fisik yang kokoh saja, walaupun dalam beberapa kontak, beberapa pemain Guiner terguling-guling kesakitan juga. Celakanya, ketika Guinea tampil seadanya, Timnas Indonesia pun gagal mengambil momentum.
Datang dengan tim yang pincang – karena ketidakhadiran Rizky Ridho, Justin Hubner, dan Elkan Baggot – Indonesia gagal memainkan level standar yang telah dicapai selama Piala Asia U-23 lalu di Qatar. Memang, sejak awal, masalah utama tim Shin Tae-yong ini adalah kedalaman. Ada gap yang lebar antara pemain utama dengan pemain cadangan. Bahkan, tanpa basa-basi, gap itu juga terjadi antara pemain yang berasal dari klub Liga 1 dengan pemain dari klub abroad.
Situasi ini tentulah sudah kita prediksi sejak awal turnamen di Qatar. Karena itulah, apa pun hasil dari babak play-off ini, dapatlah diterima dengan beberapa catatan. Pertama, tentu saja performa wasit yang mengecewakan. Ternyata, wasit yang berasal dari Eropa tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan tampil dengan baik. Terbukti dua penalti gaib yang diberikan untuk Guinea sebagai bukti bahwa pengadil yang lemah membuat pertandingan berjalan buruk.
Kedua, kita harus selalu mafhum, atau mulai mafhum, bahwa tim nasional yang baru saja gagal ke Olimpiade merupakan kesebelasan dari kelompok umur. Kita sudah mesti membangun mindset – seiring mulai membaiknya performa pengelolaan Timnas Indonesia – bahwa puncak piramida tim nasional sepak bola ada pada level senior. Dengan cara melihat seperti itu, kita harus memiliki keyakinan bahwa capaian tim-tim kelompok umur merupakan basis kepada pembangunan tim nasional level senior.
Ketiga, kegagalan Timnas U-23 ke Olimpiade Paris hemat saya merupakan gerak semesta. Kita tidak bisa menolak kehendak semesta itu karena satu hal: keinsyafan diri memperbaiki sepak bola Indonesia yang sudah keluar dari jalur selama puluhan tahun. Ketika kita memilih untuk keinsyafan diri itu, maka yang tampak di mata kita adalah proses yang semestinya kita lalui dengan wajar.
Proses yang wajar adalah lolos fase grup di Piala Asia Qatar. Lalu, kita tiba sampai babak semifinal. Kemudian kepala kita pecah karena pancaran sinar Paris tiba ke otak kita semua. Kemudian, ramai-ramai meminta sepak bola kita hadir di Paris. Padahal, titik kewajaran sudah kita capai. Bahkan, jangan-jangan, jika Timnas U-23 tiba sampai ke Olimpiade Paris, kita bisa lupa daratan sehingga mengabaikan proses yang sudah semestinya kita jalani dengan benar. Proses yang akhirnya membuat semesta membentangkan kejayaan untuk sepak bola Indonesia.
BA