Nerassuara.com - Dalam sejarah perhelatan islam jawa, lamat-lamat pasti kita pernah mendengar tentang “Lemah Abang” atau yang kerap dikenal dengan Syaih Lemahbang, atau Syaih Sitti Jennar, atau Syaih Abdul Jalil. Kisah yang sering seliweran di telinga kita, pasti tentang ajarannya dan tentang penghakiman Wali Sanga yang khabarnya juga dapat mandat dari Demak sebagai kerajaan islam saat itu, untuk menghakimi Syaih Sitti Jenar. Ajaran itu dianggap menyimpang, Manunggaling kawula lan gusti dianggap ajaran yang hanya berlaku bagi personal, bukan disebarluaskan apalagi diajarkan kepada semua orang (red; santri).
Cerita yang nyampek ke telinga kita ini selalu diulang-ulang, bahkan menjadikan sebagian besar muslim jawa menganggap bahwa apa yang dilakukan Syaih Siti Jenar memang melenceng dari ajaran islam. Padahal jauh dari pada itu, Syaih Siti Jenar dengan kedalaman intelektual dan spiritualitasnya ingin merubah tatanan sosial yang sudah jauh dari ruh kesejahteraan, bisa jadi tatanan sosial itu sudah jauh dari nilai tata tentrem karta raharja, atau dalam term islam disebut Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Hal ini dipertegas oleh Raden Mas Ngabei Kyai Agus Sunyoto dalam Suluk Malang Sungsangnya bahwa Syaih Abdul Jalil, atau Syaih Sitti Jenar pada dasarnya membuat gerakan sosial untuk menghapus otoritarianisme – feodalistik, sederhananya konsep tanah perdikan ( lemah abang, tanah merah ) dan konsep manunggaling kawula gusti adalah penghapusan skat antara raja dan rakyat.
Menurut Syaih Sitti Jennar, sistem kerajaan yang mengkultuskan raja sebagai titisan Wisnu dalam konsep jawa, atau titisan Tuhan adalah satu kondisi feodalistik yang harus dihapuskan. Ketika kerajaan jawa atau islam jawa saat itu seperti Demak dan Cirebon, secara sosial meyakini bahwa raja adalah golongan gusti , sedangkan rakyat adalah kawulo , hal ini bertentangan dengan konsep ingsun atau hamba di hadapan Tuhan. Sedangkan menurut Syaih Sitti Jenar menghamba ya hanya kepada Tuhan, sedangkan raja tidak boleh anti kritik, demokratis dan duduk bersama rakyat.
Oleh sebab itu, Syaih Sitti Jenar dengan konsep Manunggaling kawula lan gustinya serta konsep tanah perdikan ( tanah mirah atau lemah abang ) dianggap menentang kerajaan, menentang penguasa tertinggi, sehingga layak untuk dihukum, bahkan penggunaan apus-apus sesat, melenceng, kafir, dan lain sebagainya melekat pada identitas Syaih Sitti Jenar saat itu, bahkan hingga sekarang.
Pendek kata, ada satu mayoritas sosial yang tidak ingin diusik kenyamanannya, empuknya kursi kekuasaan, bahkan kekuatan dogma agama yang dijalankan menjadi peluru tajam di satu sisi, dan menjadi benteng yang tak terkalahkan di sisi yang lain.
Kalau Syaih Siti Jenar menurut cerita-cerita kuno dihakimi oleh para wali, khususnya Sunan Kali Jaga. Sama halnya dengan Mujaddid dari Jawa Timur 5 abad setelah Masa Syaih Siti Jenar dan Para Wali Sanga. Ia dengan pandangan seperti Fazlurrahman yang menggaungkan untuk membuka kembali pintu Ijtihad agar kehidupan beragama benar-benar pada tataran rahmatan lil’alamin . Ia juga menawarkan konsep pluralisme, meminjam istilah Gus Dur, Islam seharusnya menyadari keberagaman sosial, begitu juga kinerja keberagamaan yang sangat multikultur. Ia adalah Moh.Shofan, seorang akademisi Muhammadiyah yang justru terusir dari ruang akademiknya di UMG (Universitas Muhammadiyah Gresik) pada tahun 2007 silam.
Shofan terusir karena ia mengucapkan “selamat hari natal” kepada kaum Nasrani yang sedang memperingati hari lahir Yesus. Hal ini dianggap haram oleh sebagian ulama’ dan dianggap makruh oleh sebagian yang lain. Walaupun pada akhirnya, hari ini, ungkapan tahniah antar umat beragama sudah menjadi tradisi yang biasa-biasa saja. Tak ada muatan saling hujat, kecuali mereka yang masih kekeh dengan konsep takfiri dan gerakan bid’ah berjamaah.
Artinya, apa yang dilakukan oleh Shofan saat itu, kini menjadi sebuah tradisi kesadaran sosial yang luar biasa plural. Dengan kata lain, konsep pluralisme sama sekali tidak mengganggu keimanan dalam bathin. Karena konsep pluralisme lebih mengedepankan saling menghargai dan menghormati satu sama lain, menempatkan kemanusiaan di atas segalanya. Lah wong urusan dapur (red: agama) kok dibawa ke ruang tamu atau bahkan dipamer-pamerkan, blaen kalau begitu. Itulah alasan mengapa Shofan dipecat dari UMG, menurut pengurus Muhammadiyah saat itu, mengucapkan selamat natal sama halnya meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan, sedangkang Islam hanya mengakui Tuhan hanya satu yaitu Allah.
Shofan pada dasarnya membawa ruh gerakan sosial Muhammadiyah yang oleh Kyai Ahmad Dahlan didirikan untuk misi-misi sosial dengan berakar prinsip keagamaan serta menjawab keberagaman. Di mana situasi sosial, kondisi sosial, ruang dan waktunya tentu mengalami dinamika dan dialektika, tidak mandek . Nah, kalau ajaran agama dikatakan munasib likulli zaman wa makan , tentu dengan pendekatan ushul dan qiyas agama bisa hadir dan menjawab persoalan sosial serta dapat menyikapi keberagaman, perbedaan dan multikultur yang sebenarnya adalah bentuk rahmat Tuhan. Jika kemudian dengan upaya saling menghargai antar sesama umat beragama, dalam praktiknya Shofan kok dianggap liberal, kafir dan lain sebagainya, lantas bagaimana dengan misi modernisasi, pembaharuan, ijtihad dalam tubuh Muhammadiyah saat itu? Hal ini tentu paradoks.
Tetapi, waktu telah berlalu, titi wancinya pasti akan sampai. Becik ketitik ala ketara, konsep ini agaknya menjadi jembatan bahwa ketika Shofan mengkampanyekan pluralisme di dalam ruang intelektual, ruang akademis dan ruang-ruang terpelajar justru ia dihujani peluru justifikasi yang menyesakkan dada. Hari ini, ibarat tanaman, tanaman itu telah berbuah matang. Tanaman yang berbuah nilai kesadaran akan keberagaman itu kini mulai dilirik dan diam-diam dinikmati bersama. Bahkan ketika Gus Dur, Cak Nur, Cak Nun, Mas Ulil, dan lain sebagainya menggaungkan sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati sesama manusia, lalu membuat ladang pluralisme dan kemanusiaan, Shofan turut menanamkan benih nilai-nilai pluralisme yang lebih luas bahkan menjadi tabungan intelektual untuk generasi selanjutnya.
Hal ini yang justru perlu digaris bawahi, bahwa setiap apa yang ditanam pasti tumbuh dan pasti menuainya. Begitu juga dengan nilai pluralisme progresif yang ditanam oleh Shofan, ketika berbuah, pasti akan dituai lalu akan dinikmati bersama. Perihal suka atau tidak, hanya masalah selera, tetapi ketika berbicara kemanfaatan pasti buah itu akan dinikmati oleh orang yang tepat.
Ketika Syaih Siti Jenar menurut Susuhunan Dalem Giri disebut bahwa Syaihh Siti Jenar ‘inda an-nas wa mu’min ‘inda Allah bahwa Syaih Siti Jenar kafir di mata manusia dan penuh keimanan kuat di sisi Allah, sedangkan Sunan Kudus sangat menghormati dan memuliakan Syaih Siti Jenar. Begitu juga Shofan, jika di kalangan muslim khususnya Muhammadiyah ia dipandang liberal bahkan kafir, tetapi tidak sama sekali ada yang tahu bagaimana isi hatinya, apalagi penilaian Tuhan kepadanya. Karena yang berhak menilai baik dan buruk, iman atau tidak bukanlah manusia, melainkan Tuhan. Bisa jadi, justru konsep malamatiyah berlaku bagi perjalanan Shofan.
Kalau agama lahir dari keterasingan, ia akan kembali kepada keterasingan, dan itulah yang diselamatkan. Kanjeng Nabi saja masih memiliki nilai pluralisme yang tinggi, masa umatnya tidak ingin meniru? Diamnya saja contoh, apalagi perilakunya, maka uswah dalam konteks sosial perlu juga digali, dipahami dan direnungkan lalu dipraktikan. Semoga kita semua selalu dalam kesadaran intelektual yang cerah, kerendahan hati dan keluasan hati untuk menyadari dan menerima fakta sosial yang berupa keberagaman, toh terkait keberagaman juga sudah dijelaskan di dalam QS al-Hujurat:13 bahwa memang manusia diciptakan dengan berbagai suku bangsa agar saling mengenal satu dengan lainnya, yang mana saling mengenal bukan berarti harus menjadi seperti atau seragam kemudian, di samping itu agar selalu mampu mengedepankan kebaikan untuk sesama, dan bermanfaat bagi semua.
Catatan refleksi perjalanan intelektual Shofan ini akan terekam dalam buku berjudul “Diaspora Intelektual: Sebuah Catatan Perjalanan Moh. Shofan”. Buku ini akan terbit pada Desember 2022. Kilas balik dan perjalanan intelektual Moh. Shofan adalah bagian dari representasi islam yang berkemajuan dan berperadaban, di mana islam baik secara nilai dan ajaran menjadi sebuah proses yang terus bergerak, tidak stagnan hanya sebagai dogma begitu saja, tentu sikap ini akan menuai ragam respon dan resiko yang sesuai nilainya. Tetapi, tidak menjadi masalah besar, karena yang terpenting adalah kemanusiaan itu tumbuh subur dengan dasar perjalanan intelektual dan kedalaman spiritual yang ditanam dalam taman kehidupan Shofan. Semoga buku tersebut menjadi salah satu pintu masuk menuju cakrawala pemikiran dan keluasan hati dalam menjalankan ritus agama yang suci, sehingga ketika sudah belajar tentang agama tidak lantas mengambil peran Tuhan, justru menjadi manusia yang paripurna ( insan kamil ). []