Tidak pernah ada yang menahu perihal takdir, tugas manusia hanya ikut jemari tuhan.
Aku goyah kala gertak menepi di ujung kosong, menyembur menyeluruh mengisi ruang sepi yang usang, memompa adrenalin secepat ambisi.
Kau hanya bagian kecil dari harapan yang ku puja di dinding hati ku yang curam, gemah lelah prosa cinta bergantung pada sosokmu yang tak pernah ku tahu sama sekali hembus napas nya, kedip kedip irama hatiku seakan perlahan menghidup berkat kudengar bisik kecilmu saat kau berlutut di hadapan ayah.
Bagaimana mungkin? Ya mungkin saja! Perlu bukti? Nyatanya iya.
Kala harap terkatung katung di atas udara, berdasarkan jawab iya atau tidak, baik atau tidak hingga bahagia atau tidak.
Rentetan prosa mengalir deras mengaliri otak hingga ulu hati, mendamba siapapun engkau wahai puja .
Berdecit perih se perih perihnya , kala semua adalah kenyataan yang nyata.
Dekap mu belum tentu ku dapat, hangat mu belum tentu milik ku ternyata.
Sesungguhnya keadaan yang tertera hanya bagian daripada hembus yang kau segarkan waktu itu, sebelum aku sempat menikmati nya.
Telat, hingga ku sadari bahwa amat jauh tenggat harap.
Perihal waktu, rasa, juga rindu yang sama sekali tak kusadari hadirnya. Sebentar sekali hingga kembali lagi pada nyatanya,
Kuulangi lagi.
Dekapmu belum tentu kudapat, hangatmu belum tentu milikku ternyata.
Maulida Nafisah
Tajinan, 03 mei 2024