Nerassuara.com - Bubur Suro adalah makanan tradisional Jawa yang sering dihidangkan pada malam 1 Suro atau 1 Muharram dalam kalender Jawa. Jenang Suro atau Bubur Suro adalah salah satu tradisi dalam budaya Jawa yang berkaitan dengan perayaan tahun baru Jawa, yang jatuh pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Bulan Suro merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang dimulai pada tanggal 1 Suro.
Bubur Suro berasal dari kata "Asyuro" dalam bahasa Arab yang berarti "sepuluh", mengacu pada tanggal 10 Muharram. Tradisi membuat bubur Suro sudah ada sejak masa pemerintahan Sultan Agung. Bubur Suro awalnya dihadirkan untuk memperingati hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro. Didaerah Makasaar dan Aceh Bubur Suro Dimasak untuk dibagikan kepada fakir miskin pada tanggal 10 Muharrom , salah satu bentuk berbagi kasih sayang dengan sesama manusia, tanpa membedakan warna kulit dan agama. "Pada 10 Muharram itu, kami puasa sunat dan kemudian menjelang berbuka puasa, kami menggelar doa bersama kemudian menyantap bersama bubur syura tersebut," katanya.
Bubur Suro memiliki makna rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta sebagai persembahan dan doa untuk meminta rezeki dan keselamatan hidup. Komposisi bubur Suro berbeda-beda tergantung tradisi yang ada di wilayahnya. Contohnya, di Sumenep, Jawa Timur, komposisinya berbeda dengan di Jawa Barat.
Bubur Suro diambil dari kata Asyuro, yaitu bubur yang komposisinya dari berbagai macam biji-bijian, mulai dari beras putih, beras merah, kacang hijau dan beberapa lagi jenis biji-bijian yang kemudian semuanya dimasak menjadi bubur, kemudian dimakan bersama keluarga, juga dibagikan kepada anak-anak yatim dan orang tak mampu, serta mereka yang sedang tidak melaksanakan puasa, atau dimakan saat berbuka puasa.
Tradisi membuat bubur Suro ini bila ditelusuri dalam sejumlah kitab klasik memiliki kemiripan dengan yang pernah dilakukan Nabi Nuh dan kaumnya. Keterangan ini bisa dilihat dalam kitab I’anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati juz 2/267 disebutkan:
"Allah mengeluarkan Nabi Nuh dari perahu. Kisahnya sebagai berikut: sesungguhnya Nabi Nuh ketika berlabuh dan turun dari kapal, beliau bersama orang-orang yang menyertainya, mereka merasa lapar sedangkan perbekalan mereka sudah habis. Lalu Nabi Nuh memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka. Maka, secara serentak mereka mengumpulkan sisa-sisa perbekalannya; ada yang membawa dua genggam biji gandum, ada yang membawa biji adas, ada yang membawa biji kacang ful,ada yang membawa biji himmash (kacang putih), sehingga terkumpul 7 (tujuh) macam biji-bijian. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Asyura. Selanjutnya Nabi Nuh membaca basmalah pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu, lalu beliau memasaknya, setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama sehingga semuanya kenyang dengan lantaran berkah Nabi Nuh."
Mengacu dari keterangan redaksi di atas,maka tradisi yang berkembang di tengah masyarakat berkaitan dengan membuat bubur Suro itu ada landasannya. Tidak sembarangan melakukan.