Pernah ada seorang Gus yang mondok di suatu pesantren, dia nyantri,masuk pondok karena berniat ingin ngaji tabarukan. Uniknya dia menyembunyikan identitas aslinya, sehingga banyak yang tidak menyangka dia adalah Gus.
Suatu ketika, kiainya yang sepuh sedang ingin dipetikkan kelapa muda, kebetulan khodam ndalem banyak yang keluar. Tanpa pikir panjang, kiai memanggil santri yang ada di kamar untuk memetikkan kelapa.
Santri itu pun manut perintah kiai, lalu memanjat pohon kelapa untuk memetik kelapa. Dia sungguh tidak berani membantah perintah Kiainya.
Lalu Kiai terkesan pada santri itu dan menanyainya:
"Sampean asli, pundi?", tanya Kiai
"Kulo asli Blitar", jawabnya
"Blitar pundi?", tanya lagi
"Abahe sinten asmane?", tanyanya bertubi-tubi.
Pertanyaan menukik itu akhirnya tidak dapat dihindari, apalagi dari kiainya. Santri itu pun menjawab dengan apa adanya tanpa disembunyikan lagi.
"Oalah, sampean putrane Kiai fulan, iku ngunu sik koncoku, makane aku nyawang sampean koq koyok pernah kenal, ternyata mirip abahe", ujar Kiai.
"Salamno kanggo abahmu, yo, Le", kata Kiai.
"Nggih", kata santri yang Gus itu.
Kejadian itu ternyata membuat keluarga ndalem sangat terkesan, bahkan keluarga ndalem menaruh perhatian lebih padanya.
Beberapa hari kemudian, Gus itu diam-diam boyong, sebab sudah merasa tidak enjoy menuntut ilmu di pesantren itu.
Terlebih sejak konangan identitasnya, dikenal sebagai putra kiai fulan, dia malah sering dibelikan makanan enak-enak oleh ndalem dan dihormati, dipanggil Gus oleh teman-temannya.