• 23 Dec, 2024

Filsafat untuk Keluarga

Filsafat untuk Keluarga

Ini adalah titik awal perjalanan baru. Saya berkeluarga hampir 5 tahun. Dengan berbagai kisah pahit manis yang kami alami. Garis besarnya adalah berkeluarga bukan sebatas menikah dan mencintai. Tetapi lebih dalam dan jauh dari pada itu. 

 

Menjaga. Kata ini agaknya menjadi poin utama dalam keluarga. Saya ingin share pengalaman dan cerita terkait kata "menjaga" ini.  


Bahwa saat kita memutuskan untuk berkeluarga maka kata "menjaga" begitu sakral. Menjaga bukan hanya terkait rasa aman. Tapi lebih komplek dari rasa aman. Rasa sayang. Empati. Saling memahami. Peka. Dan lain sebagainya.  


Menjaga buka juga pada level tidak menyakiti saja. Tapi lebih tinggi dari itu. Kenapa harus menjaga? Karena keluarga itu himpunan dari berbagai jenis hati dan pikiran. Dari sanalah muncul berbagai argumen dan kemauan. Yang harus ditampung dan mendapatkan ruang.  


Akhirnya, ada hal yang harus ditinggalkan dan dibangun. Seperti kesenangan dan kemauan pribadi. Karena kita harus menjaga perasaan pasangan kita. Akan sangat fatal jika kesenangan personal itu masih dilakukan.  


Seprtihalnya suka mabuk. Suka perempua. Suka main. Dan lain sebagainya.  


Begitulah proses yang harus dijalani. Berkeluarga berarti menjaga banyak hati di dalamnya. Khususnya hati istri. Hati suami. Hati anak-anak. Karena mereka semua akan menjadi korban yang menelan rasa sakit.  


Di usia lima tahun pernikahan ini. Saya melihat kata "menjaga" benar-benar kata yang harus direnung-akrabi. Karena menjaga bukan seprti satpam atau petugas keamanan. Tapi lebih mendalam perannya.  


Menjaga agar istri tidak sedih. Menjaga anak agar mendapat hak-haknya. Menjaga suami agar sehat selalu. Pada intinya menjaga itu adalah poin dasar menuju kebahagiaan.  


Akan tidak bahagia sama sekali jika kata "menjaga" ini tidak dipahami dan diabaikan. Manusia memang tempat salah dan lupa. Tapi manusia juga wajib untuk senantiasa belajar.  


Artinya lalai itu memang wajar. Tapi berhak untuk dijaga agar diri ini tidak lalai. Bagaimana caranya? Fokus adalah jawaban utamanya. Fokus pada keluarga. Fokus pada pekerjaan. Fokus pada kegiatan. Dan untuk fokus butuh belajar setiap saat.  


Langkah selanjutnya adalah merenungi. Merenungi apa yang kita kerjakan. Kira-kira berdampak baik atau buruk. Karena merenungi adalah bagian dari instrospeksi.  


Harusnya setiap saat introspeksi. Karena dengan begitu akan tahu dan paham jangkauan dari apa yang dilakukan. Berdampak baik atau burukkah terhadap keluarga.  


Jika larut dalam apa yang dilakukan dan tidak memahami dampaknya. Maka kekecewaan dan rasa sakit yang akan dituai. Saya mengalami itu. Dan akhirnya yang saya sakiti bukan hanya pasangan. Tapi juga anak dan lingkungan kelurga besar. 


Dalam kondisi ini. Menjaga lebih sulit daripada membangun. Mempertahankan butuh proses kesadaran. Mempertahankan butuh kemauan tinggin untuk belajar. Sehingga menjaga bukan hanya piranti atau seni dalam berkeluarga. Tetapi juga pijakan dasar yang harus disepakati. Khusunya oleh diri sendiri. 

Ahmad Dahri

Alumni SKK ASM MAARIF Institute, Sedang gandrung sama Kebudayaan. Pelayan Teras di Nerassuara.com