Setiap orang pasti memiliki keluk kesah dalam hidupnya. Ragam cerita yang menyelimutinya adalah proses perjalanan panjang. Di mana setiap orang akan mengalami ragam perspektif dari penilaian orang lain tentang dirinya. Karena sebagai sebuah kewajaran, setiap manusia memiliki prosesnya masing-masing.
Anda pasti pernah mendengar istilah bahwa “Setiap manusia memiliki haknya masing-masing untuk mengukir sejarahnya.” Artinya ada sikap yang tidak bisa ditiru dan – bahkan dijadikan satu acuan agar memiliki kesamaan dengan yang lain. Perbedaan adalah satu anugerah. Jadi tidak mungkin manusia memiliki kesamaan dengan yang lainnya.
Kita bisa mengawalinya dari sudut pandang yang beragam untuk melihat perbedaan itu sebagai anugerah. Pertama, manusia dilahirkan dengan kapasitas atau keterampilan masing-masing. Kedua, manusia memiliki identitas dan personalitas masing-masing. Ketiga, pada kebutuhan primernya saja, manusia memiliki pebedaan antara satu dengan lainnya. Keempat, kecenderungan dalam perkembangannya adalah sebuah ragam yang harus menjadi perhatian. Kelima, Kalam Tuhan sudah jelas, bahwa manusia tercipta dari ragam yang berbeda-beda dengan tujuan untuk saling mengenal satu dengan yang lain.
Keluh kesah yang sering dijumpai pasti tidak jauh dari kebutuhan skunder; eksistensi, penghormatan dan penghargaan, kemewahan atau kemelekatan duniawi, dan fantasi-fantasi kehidupan sosial agar menjadi pusat perhatian.
Dari kelima sudut pandang di atas, kita dapat melihat dan menggali lebih dalam lagi pada diri kita agar mampu menentukan sikap dan wisdomnya . Bahwa manusia pasti memiliki keinginan, itu tidak bisa dielakkan. Karena keinginan adalah satu hal yang melekat dalam diri kita. Tugas kita adalah mengendalikannya. Pertanyaannya, siapa yang tidak ingin mapan dalam hidupnya? Memiliki harta yang berlimpah? Tidak kesusahan dan tidak kehilangan pekerjaan misalnya? Atau tidak ingin kehilangan kekasihnya?
Keinginan itu pasti bermuara pada apa yang memberi manfaat bagi diri sendiri, dan belum tentu berimbas pada orang di sekitar kita. Anda mau bukti? Satu hal, ketika anda sudah bekerja dan mapan secara finansial, belum tentu dalam hati anda tergerak untuk memberi kemanfaatan bagi orang lain, munculnya rasa ingin menolong dan membantu adalah ketika anda sedang dalam kesusahan, baru resign dari kerjaan misalnya. Atau ketika anda sedang dalam masalah.
Hal ini wajar, karena memang kita masih merasa memiliki sesuatu, dan merasa mampu mengontrol sesuatu yang ada di luar kita. Hal inilah yang ingin kita bahas di awal tulisan ini. Saya ingin berbagi pengalaman dan meminta saran kepada para pembaca tentang sebuah kekhawatiran dan ketakutan. Tentang satu kondisi di mana kita gagal mengontrol apa yang ada atau muncul dari luar diri kita.
Bolehkah mengeluhkan kesedihan dan masalah yang di alami?
Pertanyaan ini sering muncul ketika kita sedang berdiskusi dan merenungi apa yang sedang menimpa kita. Kita juga sering berandai-andai tentang apa yang kita alami. “Andaikan tadi aku tidak bersikap demikian, mungkin aku tidak dapat masalah begini,” misalnya. Namun perlu disadari bahwa manusia dalam kehidupan ini tidak bisa lepas dari konsekuensi.
Konsekuensi dari makan adalah kenyang, tidak makan maka sebaliknya. Konsekuensi dari bekerja adalah capek, pun jika tidak bekerja, ada kecapekan-kecapekan yang lain. Artinya apapun yang sedang kita lakukan memiliki konsekuensi-konsekuensi dan resiko dengan kadar yang beragam. Tidak manfaatkah? Belum tentu, jika kita berpegang pada konsep bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bermanfaat, maka apapun itu memiliki manfaatnya masing-masing. Kembali lagi bahwa, konsekuensi itu bukan hanya bersifat merugikan, melainkan juga memberi kemanfaatan.
Oleh sebab itu, kita boleh mengeluhkan apa saja tentang kesedihan dan masalah yang kita alami, tetapi perlu diingat bahwa mengeluh adalah satu kondisi yang menunjukkan bahwa kita kurang mensyukuri apa yang kita punya saat ini, yaitu hidup. Karena selagi masih hidup berarti kita masih memiliki kesempatan untuk bahagia, untuk tidak menemukan masalah yang berat dalam hidup. Bahkan kita masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah dan menghapuskan kesedihan kita.
Hal ini menjadi satu pandangan bahwa, kebahagiaan itu bukan muncul dari luar diri, melainkan dari dalam. Karena semakin kita menyelami diri kita dan mengenal diri kita dengan baik, maka tidak mungkin kita tidak menemukan kebahagiaan dalam hidup ini, minimal kita tahu apa yang akan kita lakukan setelah ini. Karena sejatinya manusia adalah bergerak, bukan berhenti dan berdiam diri. Berhenti boleh, asal dipahami sebagai sikap untuk mengumpulkan tenaga dan bergerak lagi. Karena langkah yang jauh pasti dimulai dengan langkah dan jengkal yang pendek.
Kita tentu ingat dengan pepatah yang berbunyi; “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Artinya proses apapun itu dimulai dengan satu langkah dan satu titik. Untuk melukis pasti dimulai dengan satu goresan. Karena keindahan dan kebahagiaan lahir dari bermacam-macam goresan dan keragaman proses yang dijalani.