Budaya, budi dan daya. Namanya budi dan daya pasti ada moralitas dan spiritualitas. Ada etis dan ada spirit nilai. Nilai yang dijalankan dalam berbagai kondisi kehidupan. Etis sebagai piranti komunikasi dan menjalin hubungan sosial.
Antara baik dan buruk. Antara indah dan tidak. Antara benar dan salah. Adalah wilayah etis yang didorong dengan spirit nilai dalam memutuskannya. Kita tidak bisa menilai bahwa tarian itu benar dan salah ketika sama sekali tak paham pakemnya. Atau sebaliknya. Paham pakem justru menilai rumit tarian yang lain.
Etis memang sangat luas dan proporsional cara pandangnya. Tapi mbok jangan semuanya diukur dari etisnya. Perlu juga dari aspek nilai atau moralitasnya. Karena budaya bukan sebatas etis atau sikap. Tetapi nilai juga yang membangun moralitas.
Makanya muncul istilah olah raga, olah jiwa dan olah karsa. Sebagai manusia tentu sama-sama dibekali pengetahuan. Tetapi meramu menjadi nilai dan etis tentu berbeda jangka waktunya. Ada yang butuh kejadian baru paham. Ada yang butuh diceritani baru ngeh. Ada yang paham dengan sendirinya.
Kesenian adalah salah satu bentuk nilai dan etis dari ruang yang disebut budaya. Kadang rebutan sego sak piring mengatas namakan budaya. Padahal itu kesenian. Ide dan kreativitas yang divisualkan. Baik dalam seni musik atau seni rupa.
Sego sak piring adalah istilah dari berbagai hal yang berkaitan dengan diri. Perut misalnya. Pengakuan misalnya. Atau citra diri sekalipun. Entah dari pemahaman kebutuhan sekunder yang diprimerkan atau memang kesalahan yang kaprah memang demikian.
Kalau saja metafor "nyunggi wakul" dalam lagu gundul-gundul pacul dimaknai apa adanya maka yang kelihatan yang sego. Ya nasi. Tapi dalam khazanah etisnya kan tidak demikian. Nilai meramu dengan pengetahuan dan pengalamannya sehingga dimaknai sebagai jabatan atau tanggung jawab. Atau makna yang lain.
Perbedaan cara pandang itulah yang membuat khazanah kebudayaan menjadi ragam makna dan ragam persepsi. Mbudaya. Berarti melakukan oleh dimensi rasa, kasa dan cipta. Banyak sisi sosial science yang menari di dalamnya. Sehingga tampak rumit.
Maka muncul istilah bahwa budayawan itu memiliki cara pandang yang berbeda dengan intelektual dan akadekisi. Bahkan politisi sekalipun.
Ya tapi mau bagaimana lagi. Memahami etika dan moralitas. Atau spiritualitas dan religiusitas saja masih mengedepankan ego empiris. Bahkan ego umur. Umurku wis tuwo. Luwih disik aku. Luwih berpengalaman dan lain sebagainya.
Artinya wilayah di luar budaya adalah wilayah tidak berbudaya. Gitu toh memahaminya? Padahal ya ora ngunu. Semua aspek kehidupan ini aspek budaya. Agama itu tuntunan. Menjalaninya juga perlu budaya. Ora mung sebatas pakaian atau jenggot saja.
Ya mau bagaimana lagi. Persepsinya sudah mengakar demikian. Terpenting hari ini adalah kembali menyadari. Sering-sering sinau. Dan tidak banyak menilai orang lain. Itu lebih aman sebagai laku budaya. Minimal menerapkan untuk pribadi sebagai alam mikro. Sebagai jagad cilik.