Bantèngan Viral. Persoalan seni dan budaya. Atau persoalan kesenian. Atau karena memahami seni dan budaya yang kaprah salahnya. Seni, tradisi dan budaya agaknya dimaknai satu kesatuan. Sehinggan yang dianggap menjadi kebiasaan dan bermuatan keindahan bisa dianggap dari semua istilah tersebut. Tebas tanpa pandang. Dirantus. Termasuk Bantèngan.
Seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu. Baik dalam karkater visual bentuk. Suara dan gerak. Atau dalam bentuk fungsi. Kesemua itu berakar dari imajinasi dan idé manusia. Artinya seni merupakan wujud dari imajinasi manusia.
Pelukis begitu juga penari. Pemahat begitu juga perupa. Penyanyi begitu juga penceramah. Redaktur begitu juga penyair. Pemotret begitu juga perancang arsitektur dan lain sebagainya. Adalah bagian dari seni. Seni berbicara. Seni suara. Seni gerak. Seni digital. Seni rupa. Sastrawan. Dan banyak lagi.
Artinya seni memiliki ruang sendiri dalam menghantarkan ide atau imajinasi. Lebih dalam lagi masuk pada konteks berpikir. Kontek bersikap. Dan kontek berbicara. Semua butih seni. Karena goalsnya adalah keindahan. Estetik.
Sedangkan tradisi adalah kebiasaan. Bahkan masuk dalam ritus dan ritual. Kita tidak bisa memaksa orang atau kelompok untuk berhenti melarung sesaji. Karena itu sudah tradisi bersyukur. Bentuk dari rasa. Kepekaan. Dan kedalaman batin.
Walaupun wilayah negatif dan positif berlaku dalam menilai sebuah tradisi. Karena tradisi sifatnya adalah kebiasaan yang disepakati bersama. Anda tidak bisa dan tidak berdampak apa-apa saat menilai tradisi sebuah pernikahan di wilayah yang berbeda. Dan harus disamakan dengan persepsi anda misalnya. Justru bunuh diri. Karena kebiasaan itu sudah turun temurun. Makanya kita kerap mengenal istilah séjé déso mowo coro. Berbeda lingkungan berbeda juga tradisinya.
Makanya adat istiadat itu menjadi tradisi yang erat di setiap daerah di Nusantara. Adat atau tradisi itu diilmui. Dipelajari dan dipahami. Baru dilakukan kembali. Demikian seterusnya. 'Adah isti'adah.
Lantas bagaimana dengan budaya. Budaya adalah ruang kesadaran. Ruang kepekaan. Umumnya dalam melihat kondisi lingkungan. Sehingga bentuknya adalah kesesuaian dengan kebutuhan atau lingkungan. Maka muncul istilah olah rasa. Olah karsa atau Olah cipta dan olah raga.
Pakaian dan model menyambut tamu adalah bagian dari budaya. Adanya saluran air dalam bentuk pipanisasi juga demikian. Adanya arsitektur yang diimplementasi dari cirikhas sekitar juga demikian menjadi bentuk budaya. Adanya jembatan juga bagian dari budaya. Rumah dengan bentuk yang berbeda-beda. Kuliner dan pengolahan hasil tani. Dan lain sebagainya.
Artinya ada posisi dan ruang masing-masing terkait istilah seni dan tradisi. Atau seni dan budaya. Bahkan bisa jadi budaya adalah wadah yang menaungi seni dan tradisi. Pun bisa jadi tidak demikian. Karena di atas ketiganya itu adalah peradaban.
Bagaimana dengan Bantèngan seharusnya. Bantèngan jangan dipahami sebagai bentuk dampak kesenian yang bercampur dengan idiologi atau kepercayaan semata. Karena di masa lalu Bantèngan atau Sigunggung adalah bentuk dari rasa syukur atas hasil panen. Yang artinya menjadi bagian dari warisan tradisi.
Dalam layang Danur Weda misalnya disebutkan bahwa;
NGANGEKSO SIGUNGGUNG AMEKSO DWI JATI // TRANATA TRACECEP PURIDHO NGEKSO RONO
AGENG SIGUNGGUNG HAMUNG AGUNGENG SRIWANANDARA // SARANG KARANG ANGGANA SINARA ARANA WEGYA
JORO ANGULIH REKSO HANGAKSANENG MUDYA // WAREK ANOM NGAREH RUNO ING HAMBEKSO
Bahwa memang Sigunggung atau bantèng menjadi simbol dari rasa syukur terhadap Sridewi atau dewa padi atau dewa tani. Dari manakah hal ini lahir? Tentu dari kesadaran dan kedalam olah rasa.
Kalau hari ini bantèngan dimodivikasi dengab musik DJ atau dengan adanya artis yang joged-joged saja. Maka itu di luar tradisi dan latar belakang seni yang ada. Karena di masa lalu musiknya adalah gamélan. Dan peruntukannya adalah rasa syukur. Bentuk rasa syukur. Simbol keagungan tani.
Masalahanya hari ini adalah Bantèngan dengan berbagai modivikasi yang apakah itu dianggap Indah atau tidak. Tetapi secara nilai akan menuai perdebatan panjang. Apalagi jika menyangkut kelompok-kelompok tertentu. Kita tidak bisa mengontrol pandangan atau pendapat orang lain. Karena setiap orang memiliki seni berpikirnya masing-masing.
Yang paling penting adalah tidak mengklaim kebenaran secara sepihak. Tidak memandang picik satu di antara yang lain. Karena sebaik-baiknya sambutan adalah yang mempersilahkan. Menjamu dan berdiskusi dalam mengèlmuni kembali. Mempelajari dan memahami bersama-sama. Tidak pada koridor menghakimi atau menyalahkan.
Kalaupun ada kepentingan personal dan kelompok. Itu bukan menjadi urusan kita. Karena yang gebyar itu tidak akan berdampak lama. Karena yang sifatnya hura-hura pada akhirnya juga sama sekali tidak berimbas pada peningkatan kualitas manusia.
Mau bantèngan atau tidak itu pilihan. Yang terpenting tidak memakan daging saudaranya sendiri. Tidak menusuk orang lain dari belakang. Dan tidak mengambil hak orang lain. Karena secara etika jika tidak mampu maka jangan nggembosi. Kita lahir bukan untuk menjadi duri dalam daging dan api dalam sekam.